Filsafat Pendidikan Matematika – Filsafat Pendidikan Matematika akan lebih kepada mempersoalkan masalah-masalah berikut: (a) sifat dasar matematika, (b) sejarah matematika, (c) psikologi belajar matematika, (d) teori mengajar matematika, dan (e) psikologi anak dalam kaitannya dengan belajar matematika.
Artikel ini akan coba menyuguhkan hal itu semua, dan semoga bisa membantu anda yang sedang mencari referensi mengenai hal ini.
Selamat membaca!
FILSAFAT PENDIDIKAN
Dalam arti yang luas dapatlah dikatakan bahwa filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafat tentang pendidikan. Ada yang berpendapat bahwa filsafat pendidikan ialah filsafat tentang proses pendidikan, dan pada sisi lain ada yang berpendapat filsafat pendidikan ialah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan.
Filsafat tentang proses pendidikan bersangkut paut dengan cita-cita, bentuk, metode, dan hasil dari proses pendidikan. Sedangkan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan bersifat meta disiplin, dalam arti bersangkut paut dengan konsep-konsep, ide-ide, dan metode-metode ilmu pendidikan.
Secara historis, filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh para filsuf, seperti Aristoteles, Augustinus, dan Locke, adalah filsafat tentang proses pendidikan sebagai bagian dari sistem filsafat yang mereka anut.
Adapun filsafat pendidikan yang dikembangkan pada akhir-akhir ini, oleh pengaruh filsafat analitik, merupakan filsafat tentang ilmu pendidikan, yakni, sejarah pendidikan, sosiologi pendidikan, dan psikologi pendidikan.
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT
Ada beberapa aliran filsafat yang begitu mempengaruhi filsafat pendidikan. Beberapa di antaranya diuraikan di bawah ini.
Filsafat analitik.
Filsafat pendidikan analitik tidak mengetengahkan dan tidak membahas proposisi-proposisi substantif atau pun persoalan-persoalan faktual dan normatif tentang pendidikan. Filsafat ini menganalisis dan menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep pendidikan seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan (education), dan sebagainya.
Filsafat ini mengecam dan sekaligus mengklarifikasi berbagai slogan pendidikan seperti “ajarlah anak, bukan pelajaran” (teach children, not subject matter). Alat-alat yang digunakan oleh filsafat pendidikan analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan linguistik serta teknik-teknik analisis yang berbeda-beda dari filsuf yang satu dengan filsuf yang lain.
Progressivisme.
Filsafat ini berpendapat bahwa pendidikan bukanlah sekedar mentransfer pengetahuan kepada anak-anak, melainkan melatih kemampuan dan keterampilan berpikir dengan cara memberi rangsangan yang tepat.
John Dewey (tokoh pragmatisme), termasuk dalam golongan progressivisme. Ia mengatakan bahwa sekolah adalah institusi sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan, bukan mempersiapkan anak untuk masa depan. Pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak-anak harus diutamakan, bukan berorientasi mata pelajaran (subjeck matter oriented).
Eksistensialisme.
Filsafat ini menyatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik dibantu bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka.
Para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan diketahui oleh si anak didik, akan tetapi yang lebih penting adalah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Para pendidik eksistensialis menolak pendidikan dengan sistem indoktrinasi.
Rekonstruksionisme. Filsafat ini berpendapat bahwa pendidikan merupakan reformasi sosial yang menghendaki “renaissance sivilisasi modern”. Para pendidik rekonstruksialis melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial itu sesungguhnya adalah sama. Mereka memandang kurikulum sebagai problem-centered.
Pendidikan pun harus berani menjawab pertanyaan George S. Cout: “Beranikah sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial baru?”
FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA
Ada yang mempermasalahkan istilah “pendidikan matematika” dan “matematika pendidikan”. Kita tidak akan mempermasalahkan mana yang lebih benar. Filsafat pendidikan matematika lebih menyoroti proses pendidikan dalam bidang matematika. Tetapi apakah pendidikan matematika itu?
Menurut Wein (1973), pendidikan matematika adalah ”suatu studi aspek-aspek tentang sifat-sifat dasar dan sejarah matematika beserta psikologi belajar dan mengajarnya yang akan berkontribusi terhadap pemahaman guru dalam tugasnya bersama siswa, bersama-sama studi dan analisis kurikulum sekolah, prinsip-prinsip yang mendasari pengembangan dan praktik penggunaannya di kelas”
Dengan demikian, filsafat pendidikan matematika mempersoalkan masalah-masalah berikut: (a) sifat dasar matematika, (b) sejarah matematika, (c) psikologi belajar matematika, (d) teori mengajar matematika, (e) psikologi anak dalam kaitannya dengan belajar matematika, (f) pengembangan kurikulum matematika sekolah, dan (g) pelaksanaan kurikulum matematika di kelas.
Dalam filsafat pendidikan matematika ini secara khusus akan dikemukakan Filsafat Konstruktivisme yang sejak tahun sembilan puluhan banyak diikuti.
PENGERTIAN BELAJAR MATEMATIKA
Pada tahun 1983, Resnick menerbitkan catatan tentang pengertian baru “belajar matematika”. Ia menjelaskan bahwa “seseorang yang belajar itu membentuk pengertian”.
Bettencount (1989) menuliskan bahwa orang yang belajar itu tidak hanya meniru atau merefleksikan apa yang diajarkan atau yang ia baca, melainkan menciptakan pengertian.
Pengetahuan atau pengertian dibentuk oleh siswa yang aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari gurunya. Dalam penelitiannya tentang miskonsepsi, Fisher dan Lipson,1986, mendapati bahwa dalam belajar matematika “pengetahuan dan pengertian mencakup suatu proses aktif dan konstruktif”.
Konstruktivisme mempengaruhi banyak studi tentang “salah pengertian” (misconceptions) dan pengertian alternatif dalam belajar matematika.
Di Universitas Cornell, pada Konferensi Internasional tentang Miskonsepsi I, 1983, disajikan 69 makalah. Pada konferensi II, 1987, membengkak menjadi 160 makalah, dan konferensi III, 1993, lebih membengkak lagi menjadi 250 makalah. Ini menunjukkan bahwa konstruktivisme sedang naik daun.
FILSAFAT KONSTRUKTIVISME
Ringkasnya, gagasan konstruktivisme tentang pengetahuan adalah sebagai berikut (von Glaserfeld dan Kitchener, 1987).
- Pengetahuan bukanlah gambaran kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
- Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
- Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan apabila konsepsi berlaku dalam
Dalam proses konstruksi, menurut Glaserfeld, diperlukan berbagai kemampuan: (1) kemampuan mengingat dan mengungkap kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyenangi pengalaman yang satu daripada pengalaman yang lain.
IMPLIKASI KONSTRUKTIVISME DALAM PROSES BELAJAR
Belajar merupakan proses aktif pelajar mengonstruksi makna atau arti baik dari teks, dialog, pengalaman fisis, atau lainnya. Belajar juga menyatakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang telah dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai pelajar sehingga pengertiannya berkembang.
Cirinya adalah sebagai berikut:
1) Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami. Konstruksi makna dipengaruhi oleh pengertian yang sudah dimilikinya.
2) Konstruksi makna itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena baru diadakanlah konstruksi.
3) Belajar bukanlah hasil pengembangan, melainkan pengembangan itu sendiri, perkembangan menuntut penemuan dan pengaturan kembali pikiran siswa.
4) Proses belajar yang sesungguhnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan, yang merangsang pikiran lebih lanjut.
5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan alam sekitarnya.
6) Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh apa yang telah diketahui siswa: konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
2. PERAN SISWA
Menurut konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif. Siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari makna sendiri dari apa yang dipelajari. Proses mencari ini adalah proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa sendirilah, yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya (Shymanski, 1992).
3. MAKNA MENGAJAR
Menurut konstruktivisme, mengajar bukanlah memindahkan (mentransfer) pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettencount, 1989).
Berpikir yang baik lebih penting daripada mempunyai jawaban yang baik terhadap suatu persoalan yang sedang dipelajari. Siswa yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomena baru (= jalan), akan menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan yang lain.
Jika cara berpikir ini berdasarkan pengandaian yang salah atau tidak dapat diterima pada saat itu, siswa masih dapat mengembangkan pikirannya. Mengajar, dalam konteks ini, adalah membantu siswa berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri.
4. FUNGSI DAN PERAN GURU
Menurut prinsip konstruktivisme, peran guru adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu siswa agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanannya ada pada siswa yang belajar dan bukan pada guru yang mengajar.
Penjabaran guru sebagai mediator dan fasilitator adalah sebagai berikut:
1) Menyediakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian (bukan ceramah).
2) Menyediakan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu siswa mengungkapkan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang mendukung berpikir produktif. Menyediakan pengalaman yang mendukung proses belajar.
3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pikiran siswa jalan atau tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang terkait. Guru membantu mengevaluasi kesimpulan siswa.