Open ended – Melalui pendekatan open ended learning atau pendekatan masalah terbuka para murid mendapatkan peluang untuk memunculkan berbagai macam jawaban. Inilah salah satu jalan untuk seorang murid untuk menemukan suatu cara baru dalam memecahkan masalah.
Cara baru itu yang umum kita sebut sebagai sebuah inovasi. Semoga artikel yang saya sajikan ini dapat menyegarkan ingatan kita semua mengenai kajian open ended ini! Selamat mebaca!
“Kenyataan di bumi dan di langit lebih kaya dari mimpi-mimpi filosofis kita” (Shakespeare)
Pendekatan Open Ended
Sudah menjadi standar umum, jika anak TK atau SD disuruh menggambar pemandangan yang berupa alam pegunungan, mereka akan menggoreskan pensilnya hingga mewujud bentuk dua buah gunung dengan matahari bersinar di tengahnya, kemudian dilengkapinya dengan gambar pematang sawah yang menuju pusat gunung dan sawah di kanan-kirinya digambari tanaman padi.

Bagaimanakah reaksi seorang guru, jika menyaksikan pensil warna-warni yang digoreskan anak didiknya ternyata tidak cocok sebagaimana warna alami pada umumnya. Misal warna hijau untuk mataharinya, warna biru untuk pegunungannya, warna merah untuk gambar padinya dan warna-warna lain yang sangat kontras menyimpang dari pemandangan alam sebagaimana aslinya.
Atau dengan kata lain anak didik tersebut bekerja di luar mainstream dengan berfikir non-konvensional alias di luar kebiasaan anak-anak seusianya.
Sekarang pertanyaan yang harus kita diskusikan adalah, bentuk apresiasi seperti apa yang akan diberikan oleh seorang guru? Apakah kita akan melarangnya dan memberikan pensil dengan warna-warna yang lebih sesuai, yang tentu saja hal ini dapat mengekang unsur kreatifitasnya? Ataukah mungkin diantara kita ada yang menganggapnya sebagai sebuah bentuk kelemahan? Atau menganggapnya sebagai sebuah perilaku menyimpang yang mengandung unsur kenakalan?
Sekarang pertanyaan berikutnya, apakah semua orang yang datang ke pameran lukisannya Affandi mengatakan bahwa lukisannya indah dan layak dihargai puluhan juta hanya untuk sebuah goresan tinta pada selembar kain yang suatu saat akan kusut dan menjadi rombeng? Pasti tentunya tidak, semua tergantung dari sudut pandang dan daya imajinasi dalam melihat lukisannya.
Siswa yang memberikan warna tidak umum untuk sebuah gambar matahari pastilah memiliki imajinasi yang berbeda dari yang telah mahfum dipahami guru dan orang disekitarnya. Maka tidaklah bijak jika kita sebagai guru langsung berusaha menyelanya.
Jadi, berikanlah mereka kesempatan untuk menikmati dunianya sejenak, kemudian barulah kita berfikir tentang alasan mengapa si murid berperilaku demikian. Sehingga tahulah kita bagaimana memperlakukan keanehan, keisengan bahkan kenakalan yang mereka tunjukan. Kemudian cari formulasi metode mengajar yang paling cocok diterapkan di kelasnya.
Adakah mungkin siswa itu memiliki kecerdasan di luar kecerdasan dalam perspektif kita sebagai guru?
Pola pikir non-konvensional, atau berfikir di luar kebiasan, terbukti mampu memberikan banyak keuntungan dan merupakan sebuah kunci penting dalam meraih kemajuan. Banyak hal baru terjadi di dunia ini yang diawali dengan melakukan sesuatu di luar aturan, karena jika semua mengikuti aturan yang telah baku maka tidak ada sesuatu hal baru yang dihasilkan. Semua hal akan mengalir begitu saja mengikuti alur kebiasaan tanpa mewujudkan suatu kebaruan.
Pada saat ilmu pengetahuan masih berada pada pengawasan gereja, tidak diperkenankan seorang ilmuwan melakukan penelitian yang mengambil kesimpulan diluar dogma gereja. Semua ilmuwan wajib mengikuti pola pikir konvensional. Bagi ilmuwan yang teorinya berlawanan dengan doktrin gereja akan dicap sebagai kaum heretik atau murtad.
Dan hasil dari pemikirannya akan dianggap sebagai bisikan setan. Jika ilmuwan tersebut tidak mau bertaubat dengan jalan membatalkan temuannya tersebut, maka hukuman mati sebagai hadiah dari gereja.
Karena pada saat itu, segala bentuk pemikiran baru dilarang, termasuk pada bidang sains dan juga semua bentuk kegiatan intelektual. Galileo adalah korban dari doktin gereja, Galileo adalah korban tragedi ilmu pengetahuan yang terpasung oleh tirani kekuasaan yang buta ilmu pengetahauan masa depan.
Akibat sistem pemikiran gereja yang mengharamkan tata cara pikir diluar aturan resmi yang pakemnya bertahun-tahun dianut mereka.
Galileo adalah seorang hebat yang berani berfikir di luar aturan, yang sungguh telah memberikan konstribusi penting untuk kegiatan keilmuan. Keberaniannya berfikir diluar aturan, melawan doktrin gereja yang telah secara resmi menegaskan bahwa semua keilmuan telah berakhir pada kesimpulan Aristoteles.
Setiap kali murid mengajukan keberatan atas dogma yang telah ditetapkan, para profesor mereka akan segera menghentikan usaha tersebut dengan mengutip ucapan dari Aristoteles: “Magister dixit”(sang guru telah berkata)
Setelah melakukan serangkaian percobaan, yang sangat berlawanan dengan ajaran Aristoteles, Galileo semakin tegas mempertahankan pendapatnya: bahwa jika dua benda dengan berat yang berbeda dijatuhkan ke bumi dari ke tinggian tertentu, maka keduanya akan jatuh menyentuh tanah secara bersamaan.
Meskipun hal ini di cemooh oleh lawan-lawannya: ”Tidak ada seorang pun kecuali orang bodoh yang percaya bahwa sehelai bulu ayam dan sebuah peluru meriam akan meluncur dengan kecepatan yang sama.”
Di tengah ejekan lawan-lawannya tersebut, Galileo menaiki menara Miring Pisa untuk menunjukan kebenarannya. Dari atas menara Galileo menjatuhkan dua buah bola dengan berat yang berbeda, seberat 10 pon dan 1 pon.
Ternyata kedua bola jatuh menyentuh tanah secara bersamaan. Peristiwa penting ini yang kemudian yang menyadarkan orang–orang yang mencelanya dalam menilai sebuah pengetahuan baru.
Begitu juga kebenaran yang disampaikan Copernicus bahwa bumi bergerak mengelilingi matahari adalah hasil berfikirnya diluar kebiasaan para ilmuwan pada masa itu. Dimana sebelum ia mempelajari astronomi di University of Rome, para ilmuwan menyatakan telah final pada kesimpulan bahwa bumi adalah pusat tata surya dan matahari beserta bintang-bintang adalah satelit yang bergerak mengelilingi bumi berdasarkan pada teori Ptolemaic.
Tapi ternyata pola pikir konvensional telah memberikan kita sebuah poin penting, bahwasanya sebuah nilai dalam hidup tidak dipelihara hanya karena ia warisan purbakala, tetapi nilai-nilai kehidupan termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan akan terus dikembangkan karena begitu besar pengaruhnya pada kemakmuran umat manusia secara aktual dan faktual.
Ilmu pengetahuan dari akar historisnya bersifat relatif, selalu terbuka ruang kritik, ditelaah ulang, malahan ditumbuhkembangkan melalui inovasi-inovasi baru yang lebih menakjubkan. Dengan begitu tidak ada lagi anggapan bahwa penemuan tokoh-tokoh besar ilmu pengetahuan baik yang klasik maupun kontemporer telah final. Hal ini dibuktikan oleh Copernicus yang tidak puas dengan teori Ptolemaic, serta Galileo yang menemukan cacat pada teori Aristoteles.
Wahai guru, para sarjana, para profesor, para pendidik, apapun jabatan dan gelar akademik anda. Dunia ke depan membutuhkan peran-peran kita sebagai pendukung sebuah pola pikir baru yang lebih segar dalam segala aspek kehidupan.
Perbedaan opini dengan peserta didik adalah sesuatu yang sangat wajar, bisa jadi hal ini adalah sebuah benih ide dari peserta didik yang akan tumbuh menjadi sesuatu yang sama sekali baru bagi dunia.
Tidak seharusnya disikapi dan ditafsirkan sebagai sebuah kekonyolan atau sebuah perlawanan terhadap kekuasaan diri kita sebagai pendidik. Harus diyakini bahwa selama sikap kritis para peserta didik adalah ditujukan pada ilmu pengetahuan, bukan kepada fasilitatornya, maka hal itu adalah sesuatu yang sangat lumrah.
Semoga artikel ini membantu ya….