Presiden: Berapa Jumlah Guru Honorer yang Belum Sejahtera? – “Berapa jumlah guru yang masih hidup?” Kalimat pertanyaan ini yang pertama kali terlontar dari lisan Sang Kaisar Hirohito. Ia ucapkan itu sesaat setelah mendengar hancur-leburnya Kota Hirosima dan Nagasaki sebab sudah tak kuasa lagi menahan gempuran bom atom pada 6 dan 9 Agustus 1945. Ucapan Sang Kaisar menjadi sebuah penegasan bahwasannya seorang guru menjadi sosok yang sangat besar perannya untuk membangun kembali kehancuran sebuah negeri . Sehingga tak ada hal lain yang dipikirkan oleh Sang Kaisar selain menginventarisir aset negara yang paling utama setelah bom atom yang di jatuhkan Sekutu pimpinan Amerika Serikat membuat porak – poranda sendi – sendi negara. Tentu kesimpulan ini muncul karena adanya keyakinan bahwa guru lah yang paling bisa diharapakan mampu berdiri kokoh di tengah puing-puing reruntuhan peradaban.
Bangsa jepang telah lama meyakini akan kekuatan hasil pendidikan. Mereka telah sepakat, andai di dalam perut bumi yang gelap pekat terkandung emas, perak, tembaga, perunggu, nikel, besi dan lumpur sampai dengan gas beracunnya, pastilah pandangan utamanya tetap tertuju pada emas. Dan kini realitas dunia pun telah bersepakat, bahwa sektor pendidikan lebih utama dari yang lain. Sektor pendidikan adalah emas yang harus dijadikan pandangan utama sehingga para guru menjadi yang paling utama untuk diamankan.
Keyakinan itu yang mendorong Jepang start lebih awal. Untuk membangun Jepang yang modern mereka memulai tancap “gigi pertama” kerja-kerja peradabannya dipertengahan abad 19. Artinya jauh hari sebelum dihantam bom atom, Jepang yang dikenal dengan bunga sakuranya sudah melakukan sebuah kebijakan drastis antara kurun 1866 M sampai 1869 M. Mereka memanfaatkan rentang tiga tahun, yaitu akhir Zaman Edo dan awal Zaman Meiji untuk sebuah perubahan. Dalam rentang waktu yang cukup singkat itu jepang berhasil meletakkan dasar restorasi, yakni sebuah pembaruan untuk perubahan mendasar secara total.
Meiji Ishin atau kita mengenalnya dengan istilah restorasi Meiji adalah suatu rangkaian usaha besar-besaran kaisar Meiji untuk menciptakan Jepang baru, mentransformasi diri dari negeri terisolasi dan miskin menjadi negeri yang penuh percaya diri. Dan yang terpenting restorasi itu diterapkan pada bidang pendidikan. Mereka menyadari bahwasanya bidang pendidikan akan berdampak sangat luas bagi kemajuan bangsa Jepang selanjutnya.
Model Pendidikan Jepang
Pendidikan yang sebelumnya dikenal dengan sebutan terakoya atau sekolah kuil, yaitu sebuah pendidikan yang didasarkan atas sistem masyarakat feodal bagi rakyat jelata, kemudian dirubah total dengan mulai menaikkan anggaran pendidikannya secara signifikan. Diprogramkannya wajib belajar, kemudian menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat.
Para pemuda dikirim ke luar negeri untuk belajar sesuai dengan bidangnya masing-masing terutama ke Perancis dan Jerman. Tujuannya jelas yaitu untuk membangun basis keilmuan dan menanamkan keyakinan bahwa Jepang dapat setara dengan kemajuan dunia Barat. Dan dunia kini bisa menyaksikan, bahwa Jepang telah matang dan menjadi kekuatan gemilang yang amat diperhitungkan.
Menyimak keberhasilan pembangunan yang digagas bangsa Jepang di atas mestinya membuat kita tergugah sebagai bangsa. Mengapa bangsa Indonesia belum bisa menyamainya. Padahal kurang lebih ditahun yang sama kita merdeka dan disaat itu pula Jepang sedang berduka. Mungkinkah karna kita belum memuliakan guru-guru kita? Lantas kemana 20% anggaran pemerintah untuk sektor pendidikan itu mengalir? Untuk siapa sesungguhnya?
Mungkin Ki Hajar Dewantara akan menangis tersedu-sedu jika hari ini ikut membaca berita, bahwa ada guru honorer yang memutuskan tinggal di samping kamar WC sekolah karna memang tak punya rumah. Apalagi tentunya kita akan mendapati lebih banyak lagi cerita yang kian terasa menyayat hati jika hendak menyusuri kehidupan para guru kasta honorer ini. Mereka melaksanakan tugas luhur, namun belum dimuliakan oleh kebijakan yang memakmurkan. Tentu terlalu jauh jika berharap pemimpin republik ini akan bertanya selayaknya Kaisar Hirohito. Cukuplah Pak Presiden bertanya; “Berapa jumlah guru honorer kita yang minta nomor induk kepegawaian?, sungguh ini sudah bisa melegakan mereka.
Oleh: Ageng Triyono
Editor: Akhmad Saikuddin
1 comment