Adnan Syarief – Pemikiran
Demonstrasi anti pemerintah Hong Kong terus bergulir. Masyarakat pro demokrasi dari berbagai kalangan ikut menyuarakan keresahannya di berbagai belahan wilayah Hong Kong.

Demonstrasi dipicu oleh diajukannya RUU Ekstradisi Hong Kong terhadap China. Yang memungkinkan pelanggar hukum dikirim ke China untuk menjalani proses peradilan.
Hal ini membuat banyak masyarakat resah. Banyak dari rakyat Hong Kong yang tidak setuju dan menolak atas usulan RUU Ekstradisi tersebut.
Protes telah menimbulkan banyak keresahan dan ketegangan di masyarakat. Antara massa yang di kenal dengan istilah pro demokrasi dengan pemerintah administratif Hong Kong serta pemerintah Beijing.
RUU Ekstradisi ini sebenarnya sudah ada sejak awal tahun 2019. Namun mulai memanas semenjak awal dilakukannya demonstrasi pada bulan Juni 2019.
Pemimpin Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, telah menunda RUU tersebut hingga batas waktu yang ditentukan. Namun hal ini masih belum dapat menghentikan aksi massa, karena masih ada banyak tuntutan lain dari masyarakat pro demokrasi atas pemerintah. Salah satunya menuntut Carrie Lam, Pemimpin Eksekutif Hong Kong untuk mundur dari jabatannya.
Sejarah
Hong Kong, adalah sebuah wilayah administratif khusus yang merupakan bagian dari China.
Pasca perang tahun 1842, China resmi menyerahkan Hong Kong ke tangan Kolonial Inggris. Kemudian, China meminjamkan sisa wilayah Hong Kong ke Inggris selama 99 tahun.
Lalu, pada tahun 1950an Hong Kong mengalami kenaikan Ekonomi, yang membuat banyak warga China hijrah ke Hong Kong untuk mendapat kehidupan yang lebih sejahtera.
Kemudian, pada tahun 1984, China dan Inggris mencapai kespakatan untuk menyerahkan kembali Hong Kong ke China pada tahun 1997 dengan asas “satu negara, dua sistem”. Inilah kenapa Hong Kong bukanlah sebuah negara melainkan wilayah administratif khusus.
Setelah itu, Hong Kong tetaplah bagian dari China, Namun Hong Kong memiliki kekuasaan yang besar untuk mengatur dan memiliki sistem hukum dan perbatasannya sendiri.
Namun, kini masyarakat Hong Kong merasa bahwa kebebasan mereka sudah mulai luntur, dengan diajukannya RUU Ekstradisi terhadap China yang memicu terjadi Demonstrasi dan protes besar besaran di kalangan masyarakat terhadap pemerintah.
Taktik Demonstrasi
Demonstrasi yang terjadi di Hong Kong menjadi sorotan berbagai negara dan media, Karena sungguh kreatif dan luar biasanya mereka dalam mengatur taktik dan strategi yang sangat terstruktur demi lancarnya proses demonstrasi berlangsung.
Salah satu bagian dari cara mereka, yaitu para demonstran berkumpul di ruang tunggu bandara untuk menyerukan “kebenaran” atas apa yang sedang terjadi di Hong Kong, khususnya kepada warga negara asing . “Tidak ada perusuh, hanya tirani” kata kata itulah yang banyak mereka serukan. Selain itu para demonstran juga banyak mengangkat spanduk dan kertas poster dalam bahasa Tiongkok dan Inggris yang bertuliskan:
“Selamatkan Hong Kong dari tirani dan brutalitas polisi”
Aksi di bandara itupun sama sekali tidak mengganggu aktivitas penerbangan, bandara masih beroperasi seperti biasa. Para penumpang yang baru tiba di Hong Kong banyak yang tampak kebingungan dan juga ada yang justru terkesan dengan aksi tersebut. Memang, aksi di bandara ini ditujukan untuk menarik simpati publik dunia atas apa yang sedang terjadi di Hong Kong ini.
Taktik berikutnya, yaitu leaderless resistance. Yaitu dengan tidak adanya figur pemimpin dalam aksi mereka. Lantas, Untuk menggantikan peran komando. Mereka memanfaatkan teknologi yang ada dengan menggunakan aplikasi pesan terenkripsi, salah satunya adalah, Telegram. Mereka mengorganisir diri untuk mengatur mereka harus maju, harus mundur, harus pulang, harus melakukan ini, atau tidak boleh melakukan ini, dari aplikasi daring maupun aktif di berbagai forum online ini.
Selain Telegram, mereka juga memanfaatkan teknologi milik Apple, AirDrop, untuk menyebar poster dan spanduk serta seruan seruan aksi secara cepat dan tanpa sambungan kabel. Dan sebelum turun untuk melakukan aksi, biasanya mereka selalu mengingatkan via Telegram untuk selalu mengaktifkan AirDrop. Namun, memang ini hanya bisa diakses oleh pengguna iPhone saja.
Para demonstran juga banyak menggunakan bahasa isyarat ketika membutuhkan barang tertentu yang dibutuhkan. Lalu, mereka akan bahu membahu saling bersambung untuk mengirimkan barang yang dibutuhkan dari belakang ke depan secara estafet.
Taktik berikutnya, yaitu dengan mereka membentuk tim pencegah/penetralisir gas air mata yang biasanya terdiri dari 5-6 orang saja. Mereka berdiri sedikit di belakang garis depan. Ketika polisi menyemprot gas air mata, mereka akan langsung segera bertindak dengan menggunakan beberapa peralatan khusus. Salah satunya, yaitu traffic cone, agar persebaran asap dapat dikendalikan, lalu memadamkannya dengan menggunakan air ke dalam cerobong asap tersebut.
Taktik terakhir, yang digunakan para demonstran yaitu, Crowdfunding, yaitu dengan mengadakan penggalakan dana dengan maksud agar mereka dapat beriklan satu halaman penuh dengan seruan seruan demonstrasi mereka di berbagai surat kabar terkemuka di seluruh dunia.
Misal Sempurna
Salah satu momen yang menjadi target mereka yaitu KTT G-20 di Osaka, Jepang, pada akhir Juni lalu. Crowdfunding itupun berhasil dengan pendapatan fantastis. Hanya dalam beberapa jam saja, dana yang terkumpul sudah lebih dari £600.000 atau sekitar Rp 11 miliar.
Kemudian, mereka membuat poster poster dengan isi semenarik mungkin untuk diiklankan ke berbagai media dunia dengan seruan “ Stand with Hong Kong at G-20” tayang di berbagai surat kabar dunia. Beberapa diantaranya yaitu, New York Times, The Guardian, Le Monde, dan masih banyak lagi.
Taktik dan strategi demonstrasi di Hong Kong ini juga banyak ditiru di berbagai belahan dunia. Salah satunya demo di Catalonia yang menuntut kemerdekaan dari Spanyol, banyak meniru aksi demonstrasi Hong Kong dengan memblokir bandara hingga menggunakan aplikasi pesan dalam bentuk kode.
Aksi demonstran pro demokrasi yang menggunakan taktik dan strategi yang sangat kreatif dan terstruktur ini. Membuat aparat kepolisian Hong Kong kewalahan dalam menghadapi aksi massa ini. “Jika itu meningkat lagi (massa demonstrasi), kita akan rekrut kepolisian lainnya. Kami berada pada batas, tetapi kami tetap mengelolanya” ujar pejabat kepolisian Hong Kong seperti dilansir BBC.
Oleh: Adnan Syarief
Editor: Deany Januarta Putra
inspiratif