Apa Kita Harus Seperti Amerika? – Tadahlah hikmah dari sejarah, karna darinya kita bisa berharap ketiban ibrah. Dari sejarah pula kita mempelajari keteladanan dari para tokohnya, juga bisa menghindarkan kita dari ‘terpeleset’ pada kecelakaan sejarah yang sama pernah dilalui bangsa-bangsa terdahulu.
Sebagai referensi kita dalam mengelola masa depan peradaban bangsa, tiada salahnya jika kita simak sejenak cuplikan sejarah bangsa-bangsa besar yang pernah disegani di abad ini. Sebutlah dua negara adidaya, yang di penghujung abad ini tempo hari saling berseteru; Uni Soviet vs Amerika. Cukup lama mereka saling beradu punggung dalm diam, atau yang sering kita sebut dengan perang dingin. Kurang lebih 50 tahun mereka sibuk saling berunjuk gigi menujukkan kebolehannya, utamanya saling menujukkan dentum meriam, alias perlombaan senjata paling mutakhir cipataan masing-masing dari keduanya. Sampai-sampai perseteruan itu menyeret beberapa negara di beda benua pada Perang Dunia I dan II. Negara-negara yang berkepentingan menggabungkan diri menjadi sekutu Soviet atau Amerika, tentu setiap negara yang terlibat memiliki tujuan mengapa ia ikut berkoalisi. Karna perihal ini, akhirnya dunia terbayangi ketakutan oleh kekuatan militer, dan perlombaan senjata nuklir yang masing-masing koalisi pertontonkan.
Pendek sejarah, Soviet akhirnya runtuh lebih dulu, mereka bubar menjadi sejumlah negara. Dan hanya Rusia yang kita kenal sekarang yang paling bisa mewakili karakter Uni Soviet sebagai sebuah negara yang dulu sempat jaya itu. Termasuk ia pula yang belum mau tunduk mengikuti tatanan dunia baru model demokrasi Barat yang dikomandoi mantan seterunya, Amerika. Tetapi secara garis besar Uni Soviet sudah kalah angka. Ia bubar karna inisiasi dari dalam ditambah kondisi ekonomi yang kalah makmur dari musuhnya, dan juga kecanggihan teknologi yang kian tertinggal.
Bush Senior pun berbangga dengan kekalahan seterunya itu. “Kita sekarang bisa melihat dunia baru. Kita biasanya mendengar orang yang bercerita tentang kekacauan pemuda kita, tentang kegagalan sekolah kita, tentang produksi Amerika dan pekerja Amerika dari kelas kedua.
“Janganlah kalian percaya hal itu, Amerika masih menjadi bangsa unggul pertama. Tidak ada sistem yang tumbuh dan berkembang lebih sempurna dari sistem kita. Kita telah menjadi sistem yang paling adil dalam sejarah dan salah satu sistem yang harmonis”
Amerika Diambang Keruntuhan – karya Mamduh Az Zubi
Mamduh Az Zahabi memerinci lebih detail lagi dalam menjelaskan indikasi-indikasi menuju kehancurannya Amerika. Tentunya dengan mengacu pada fakta dan teori-teori kehancuran suatu bangsa. Antara lain rawan krisis keuangan karena negeri Paman Sam sangat bangga dengan ekonomi ribawi, juga rawan krisis pangan karna angka impor yang amat tinggi. Mereka juga menderita kerapuhan sosial, karena ternyata tak sedikit warganya yang terlunta-lunta tidur beralaskan bumi beratapkan langit, hanya saja kurang tersorot media. Angkanya juga jutaan yang hidup miskin di yang konon tinggal di negara makmur.

Fatal pula kondisi generasi penerusnya. Anak mudanya jarang berpikir tentang membangun masa depan berkeluarga. Mereka menganggap lumran pola hidup kumpul kebo, sampai 26 % anak yang dilahirkan tanpa melalui status perkawinan. Anak-anak mereka mengalamai ketelantaran karna minimnya perhatian paraorang tua terhadap kondisi sehari-hari di keluarga. Moral kaum wanitanya juga memprihatinkan. Statistik resmi menyebutkan 85% gadis Amerika berumur 14-21 tahun berangan-angan menjadi model fahisyah.
Dalam skala negara, negeri yang merasa paling demokratis dan paling menghargai HAM, ternyata memiliki perlakuan rasialis terhadap warga kulit hitam. Masalah kesehatan juga masih menjadi PR yang sangat serius bagi mereka. Penyakit menular, kehampaan rohani, dan sosial. Maka wajar, jika kota-kota besarnya, semacam Los Angeles, Jacksonville, Kansas City, New York menjadi pusat Kriminalitas.
Saya termasuk yang percaya dengan data yang dipaparkan oleh Sang Penulis buku tersebut. Adapun secara sadar saya tegaskan hal di atas tiada lain karena kondisi psikologis masyarakat kita dewasa ini seperti sudah mendewakan kehidupan Amerikas eperti telah mahfum jika segala produk Amerika dijadikan standar dalam beberapa arena kehidupan masyarakat di republik ini. Kalimat; ’’Di Amerika… bla-bla”, dan seterusnya seringkali dijadikan kalimat pembuka untuk membandingkan sesuatu yang dirasa bahwa kondisi di Amerika lebih ideal dengan kondisi negeri kita saat ini. Seolah ingin berkata bahwa Amerika adalah stadar kelayakan untuk hidup pantas. Produk mereka juga diiklankan seolah sebagai yang terbaik dalam kualitas di kelasnya. Hingga kalimat iklan ‘Made in America’ begitu membius hati calon konsumen.
Lalu, apakah kita akan juga terus menggunakan Amerika sebagai standar dalam mengurus negara? Padahal esensinya mereka telah mundur jauh melampui batas-batas kemanusiaannya, dan membuat semakin dekatnya kehancuran sebagai sebuah negara.
Sekarang, camkanlah apa yang dituliskan Ibnu Rusyd pada ratusan tahun silam. Beliau menegaskan bahwa kebudayaan dan umat melewati fase-fase sejarah dan perkembangan sosial politik yang berbeda-beda. Dan sungguh akan cepatnya kejatuhan dan kehancuran negara ketika tersebar dekadensi moral dan kejahatan sosial di masyarakatnya, setelah sebelumnya mereka lebih mementingkan materi yang nampaknya tidak mampu menopang kelangsungan sebuah kebudayaan. Maka akhir dari masyarakat ini adalah kehancuran yang menakutkan.
Oleh: Ageng Triyono
Editor: Deany Januarta Putra