Banyak Juga PR yang Menyenangkan Loh, Yuk Baca! – Student Center Al-Azhar, sebagaimana malam-malam biasanya, ramai oleh dengung lantunan Qur’an santriwan santriwati. Nyingkuk menggenggam mushaf sebesar telapak tangan. Jarak lembarnya terlampau dekat dari mata saking fokusnya.
Duduk melingkar mengelilingi masing-masing pembimbing. Ada pula yang membentuk semacam antri memanjang ke belakang. Komat-kamit sembari menyandar kepala di punggung temannya. Jika sejenak berdiri mengedar pandang, begitu syahdu. Meski tertangkap satu dua tak fokus mengaji, sibuk menjaili teman lainnya atau ambil kesempatan tiduran saat pembimbing lengah memantau.

Dahi saya berkerut menyimak bacaan beberapa santriwati yang jauh dari kaidah tajwid Al-Quran yang benar. Setelah mereka menyelesaikan saya berkata,
“Nanti setelah Isya jangan pulang dulu ya. Kita belajar tajwid lagi disini dari awal…” tawar saya. Ternyata mereka justru merengek mengatakan bahwa banyak PR dari sekolah sehingga harus mengerjakan malam itu juga. Maka saya biarkan.
Beberapa malam berikutnya bacaan tak kunjung ada perubahan signifikan, sebab memang tak sempat dibimbing lebih lanjut. Tak tahan ingin segera mendongkrak pemahaman mereka akan tajwid, kembali saya tawarkan hal yang sama, yakni mendalami kembali tajwid Al-Quran setelah Isya. Namun ternyata kembali dijawab mereka dengan rengekan yang sama pula, tugas demi tugas menumpuk dari sekolah.
Saya yakin mereka sangat ingin belajar tajwid saat itu. Tapi ternyata 4 bulan pertama di asrama belum cukup membuat mereka piawai membagi waktu. Maka kembali saya relakan mereka kerjakan dahulu kewajiban-kewajiban dari sekolah.
Untuk kesekian kalinya saya tawarkan tawaran yang sama, bahkan dengan waktu yang lebih fleksibel. Mereka bisa menghampiri saya kapanpun mereka bisa. Dan tetap dijawab alasan yang sama. Banyak tugas.
“Kok bisa banyak tugas terus?” saya mulai tak sabaran.
“Iya Us, banyak banget. Saya juga pusing.” Jawab mereka senada. Dari yang paling unggul hingga yang indeks prestasinya biasa saja sama-sama menyuarakan satu kata. Pusing.
***
Mengapa menyebutnya tugas? Mengapa menyebutnya pekerjaan?
Jika kepala kita dipindai dengan MRI, lalu dimunculkan sebuah kata “TIDAK” pada kita selama kurang dari satu detik, maka MRI akan merekam adanya pelepasan hormon stres dan neurotransmitter. Bahan kimia ini segera mengganggu fungsi normal dari otak, sehingga menimbulkan gangguan logika, alasan, pengolahan bahasa, dan komunikasi.
Otak dan perasaan kita tampaknya memang didesain untuk mudah khawatir. Bahkan, hanya melihat daftar kata-kata negatif seperti ‘kemiskinan’, ‘penyakit’, atau ‘kematian’ selama beberapa detik dapat membuat orang menjadi sangat cemas atau depresi. Dan semakin dipikirkan, semakin besar kemungkinan timbul gangguan pada struktur kunci yang mengatur memori, perasaan, dan emosi yang dapat mengganggu tidur, nafsu makan, dan kebahagiaan.
Menurut Barbara Fredrickson, salah satu pendiri lembaga riset psikologi di Amerika, Positive Psychology, kita perlu menghasilkan setidaknya tiga pikiran dan perasaan positif untuk setiap ekspresi negatif. Bahkan tak masalah jika pikiran positif kita sebenarnya tidak rasional. Karena yang sebenarnya dibutuhkan dari pikiran positif adalah energi positif.
Memberikan pengaruh positif terhadap pikiran orang lain dapat dimulai dengan memberi penamaan yang baik pada suatu hal. Tugas, pekerjaan, untuk remaja masih terlihat seperti beban.
Padahal tujuan utama dari tugas atau pekerjaan tersebut adalah untuk menyalakan potensi pribadi mereka dalam menyelesaikan suatu masalah dalam subjek tersebut. Akan ada banyak hal baru yang mereka dapatkan dari pengerjaan tugas. Namun tampaknya pikiran negatif membuat keuntungan-keuntungan itu tertutupi manfaatnya.
Baiklah. Bagaimana jika kita menamainya dengan “eksplorasi lanjutan”?
Itu akan terdengar seperti sebuah petualangan atau penaklukkan tantangan tahap demi tahap. Sangat cocok dengan pribadi muda-mudi yang senang dengan hal baru, meskipun tetap dengan subjek yang sama. Ajarkan mereka untuk selalu takjub dengan judul-judul baru yang berarti petualangan baru, seperti binar mata bayi yang terkagum dengan apapun yang ia dapati di sekitarnya.
Oleh: Rumaisha Putri
Editor: Deany Januarta Putra